Aku baru
menyadari ada sebagian wanita yang menggunakan jilbab hanya karena
sekedar disuruh atau diwajibkan oleh orang tua, tempat belajar atau
tempatnya bekerja. Jika telah keluar dari ‘aturan’ itu, maka lepas pula
jilbab yang menutupi kepalanya. Mungkin karena itulah kain-kain itu
tidak menutup secara benar kepala dan dada mereka.
Sebagian
lagi, memakai jilbab karena pada saat itu, jilbab terasa pas untuk
dipakai dan lebih menimbulkan kesan ‘gaya’ dan kereligiusan agama.
Apalagi jika diberi pernak-pernik di sana-sini.
Jilbab yang seharusnya menutup keindahan wanita tersebut malah justru menambah keindahan itu sendiri.
Ditambah lagi kesan agamis yang terasa nyaman di hati.
Aku
juga pernah berpikir dan bertanya-tanya, bahwa orang-orang memakai
cadar dan berjilbab lebar apakah tidak kepanasan dengan seluruh
atributnya? Apakah tidak repot jika hendak keluar dimana mereka harus
memakai seluruh kain panjang tersebut?
Mulai dari baju, jilbab
yang lebar, masih harus ditambah memakai kaus kaki! Ah! Dan di balik
jilbab itu, ternyata masih ada jilbab lagi! Dan… apakah mereka bisa
melihat dari balik cadar yang menutup matanya?
Untuk yang
satu ini, waktu tidak cukup untuk menjawab semua pertanyaan itu. Karena
butuh pengetahuan lain yang merasuk ke dalam hati untuk mendapatkan
jawabannya. Pengetahuan akan indahnya Islam dengan segala pengaturan
yang diberikan oleh Allah.
Pengetahuan akan surga yang
begitu indah dan damai dengan segala kenikmatannya. Pengetahuan bahwa
surga tidak akan tercium oleh wanita yang mengumbar-umbar aurat di depan
khalayak. Pengetahuan bahwa penghuni neraka yang paling banyak adalah
wanita. Ternyata kerepotan itu bukanlah kerepotan, melainkan sebuah
usaha. Usaha dari seorang wanita muslimah untuk menggapai surga-Nya.
Untuk bersanding dengan suaminya ditemani dengan bidadari cantik
lainnya.
Panas dari jilbab itu bukanlah rasa panas yang
menyesakkan pikiran dan dada. Akan tetapi hanya sepercik penguji jiwa
yang dapat meluruhkan dosa-dosa kecil dari seorang insan wanita.
Bukankah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa setiap
kesusahan yang dialami muslim merupakan peluruh bagi dosa-dosanya.
Maka…
hatiku kini pedih… Ketika kemarin melihat saudariku yang lain, seiring
dengan berjalannya waktu, kini telah membuka jilbabnya. Sempat
kutanyakan, “Di mana jilbabnya?”
Ia menjawab, “Tidak sempat kupakai.”
Aih…
waktu kutanyakan itu, memang pada saat dimana orang-orang sibuk
menyelamatkan dirinya dikarenakan bencana alam. Aku hanya terdiam
mendengar jawaban itu. Ah… mungkin karena sangat terkejutnya sehingga
tidak sempat berbalik lagi untuk mengambil jilbab.
Tapi
hari ini… kutemukan dia sudah menanggalkan jilbabnya. Bahkan tak tersisa
sedikitpun jejak bahwa ia pernah memakai jilbab. Kini ia telah
bercelana pendek dengan pakaian yang pendek pula. Sesak rasanya dada
ini.
Tetapi belum ada daya dari diriku untuk bertanya lagi tentang
sebuah kain yang menutupi kepala dan dadanya. Masih tersisa di benakku,
jika seseorang yang menggunakan jilbab melepas jilbabnya… maka habislah
sudah… karena perenungan dan pergulatan hati itu kini telah dikalahkan
oleh hawa nafsu. Perenungan yang pernah mendapatkan kemenangan dengan
dikenakannya jilbab itu kini justru bahkan tak mau diingat. Hanya kepada
Allah-lah aku mengadu dan memohonkan hidayah itu agar tetap ada
bersamaku dan kembali ditunjukkan kepadanya.
Saudariku… kuingin meraih surga bersamamu. Maka, saat ini aku hanya bisa berdoa.
Semoga kita bertemu di surga kelak… Insya Allah.
Semoga bermanfaat...